Oleh: Ayatrohaedi*
Januari 30, 2017
Ia sangat tertarik oleh kisah Perang Troya yang menggambarkan bagaimana kota yang kokoh akhirnya dapat direbut berkat kecerdikan musuh yang mengepungnya. Ketertarikannya itu ternyata berkepanjangan menjadi tanda tanya besar baginya.
Sebagai anak Eropa, sudah sejak kecil Heinrich Schliemann berkenalan dengan mitologi Yunani yang dianggap sebagai salah satu akar kebudayaan Eropa masa berikutnya. Selain di sekolah, mitologi Yunani itu dikenalnya juga melalui kedua orang tuanya, para tetangga, dan buku-buku yang dibacanya.
Mungkinkah kisah yang demikian nyata itu, benar-benar hanya sekadar dongeng tanpa satu pun acuan peristiwa yang terjadi? Jika orang lain beranggapan bahwa kisah itu se¬kadar mitos, tidak demikian halnya dengan Heinrich. Ia menduga bahwa kisah itu lahir karena ada peristiwa penting yang pernah terjadi di kota atau sekitar kota Troya itu.
Kebetulan orang tuanya pedagang kaya, dan juga memahami rasa penasaran anaknya itu. Dengan dukungan dana dari orang tuanya, di samping ia sendiri kemudian menjadi saudagar yang juga kaya, ia memutuskan untuk pergi ke Yunani.
Bukan untuk membuktikan kepada dunia bahwa di sana ada kota dan peradaban yang bernama Troya melainkan lebih disebabkan oleh keinginan memenuhi rasa penasarannya itu.
Bersama dengan istri dan sejumlah pembantu lapangan, mereka berangkat ke Yunani, lalu menuju tempat yang menurut berbagai acuan diduga sebagai tempat berdirinya kota Troya.
Berhari-hari mereka menggali di situ, tak juga menemukan apa yang dicari. Ketika seluruh rombongan (kecuali Heinrich) sudah benar-benar berputus asa, cangkul yang dihunjamkan ke tanah mengenai sesuatu yang keras.
Keputus-asaan untuk sementara ditangguhkan, dan penggalian diteruskan. Hasilnya, bukti pertama bekas kota dan peradaban itu tergali, dan dari penggalian itu lahirlah ilmu yang kemudian dikenal sebagai widyapurbaatau arkeologi.
Dalam pada itu, nenek moyang orang India meninggalkan dua buah wiracarita yang terkenal, Mahabharata karya Wyasa dan Ramayana karya Walmiki. Menurut para ahli bahasa, kedua naskah itu berasal dari kurun masa antara 400 SM-400 M. Seperti juga halnya dengan kisah Troya, para pembaca naskah itu umumnya menganggap bahwa semuanya hanyalah sekadar dongeng, kalaupun bukan mitos.
Tetapi, seperti halnya dengan Heinrich, ada saja orang yang tidak percaya akan keasal-dongengan kedua wiracarita itu. Inggris yang ketika itu menjadi yang dipertuan di India, juga mempunyai beberapa orang warga yang meng¬anggap bahwa kisah Troya kaol (=versi) India seharusnya tersembunyi di balik kisah tersebut.
Berbekal anggapan itu, mereka mencoba menggali dan menemukan kota yang seharusnya menjadi pusat kerajaan Indraprahasta (kita me¬ngenalnya dengan nama Amarta) di daerah sebelah barat daya, beberapa kilometer dari kota Nutana Dehali (New Delhi).
Hasilnya? Bekas kota tua yang diduga berasal dari pertengahan abad ke-12 sebelum Masehi (1150 SM) muncul ke permukaan. (Dalam pada itu, dendam kesumat antara Rama dengan Rahwana, ternyata masih berlanjut hingga sekarang berupa sengketa antara orang Singhala di Srilangka [Alengka] dan orang Tamil yang tidak mustahil keturunan Subali dan Sugriwa).
Kedua kegiatan mengungkapkan masa lampau yang berdasarkan pada naskah (atau bahkan tradisi, termasuk mitologi) itu ternyata memberikan peluang kepada kita untuk mencoba merenungkan, apa yang sebenarnya tersembunyi di balik semua kisah yang dikandungnya itu.
Masalahnya, apakah hal itu” hanya berlaku untuk naskah dan tradisi orang Arya, ataukah juga untuk orang dan bangsa lain di muka bumi ini.
Dijumput dari : http://www.wacana.co/2017/01/naskah-dan-sejarah-kota-troya-dan-wiracarita-india/